TESTIMONIALS


Curhat Bunda Dini


Wow.senengnya bisa menulis lagi, ketemu lagi dengan saya bunda Dini. Begini lho. Jika ada ibu-ibu yang mempunyai anak yang terkena flek, bronchitis, batuk-batuk biasanya dokter memberikan obat-obatan dengan dosis tertentu dan pastinya dengan jangka waktu yang lama mungkin bisa 1 bulan, 3 bulan atau bahkan 6 bulan.
Mungkin kita sebagai orang tua tidak banyak mengetahui bahwa setiap obat yang dikonsumsi tentunya ada efek samping, salah satunya mungkin pada saat pengobatan selama 6 bulan si penderita bisa sembuh total atau bisa juga masih diperpanjang. Namun kita tidak tahu apa yang terjadi kelak si anak menginjak dewasa?.
http://www.infobunda.com
Yang dikhawatirkan dari efek obat tersebut adalah jika si anak sudah dewasa cenderung si anak terkena infeksi saluran kencing, karena begitu seringnya si anak meminum obat tiap hari selama kurun waktu yang lama. Sangat kasihan juga kita sebagai orang tua melihat kondisi anak seperti tersebut.
Mungkin ibu-ibu pernah mendengar susu kambing, bahkan sudah ada yang mencobanya. Ini terjadi pada anak saudara saya, umurnya 5 tahun menurut dokter si anak terkena flek di paru-parunya. Kondisi kesehatan/daya tahan tubuhnya selalu menurun, jika sudah sehat mungkin hanya beberapa minggu kemudian sekalinya batuk dan muntah dan tidak mau makan. Kemudian suhu tubuhnya tinggi pada posisi perut kosong maka perut terasa mual yang ujung-ujungnya tubuhnya habis (kurus/ceking/kurang gizi).
Kemudian suatu hari pernah ada yang menganjurkan untuk mengkonsumsi susu kambing setiap hari satu gelas, dan apa yang terjadi setelah mengkonsumsi susu kambing selama beberapa hari saja si anak lebih sehat dari biasanya makannya juga banyak dan batuknya sudah berkurang. Dan tentunya tidak ada efek sampingnya, saat ini si anak tersebut menjadi anak yang pintar dan baraktivitas seperti anak-anak sehat lainnya.
Mungkin kandungan yang terkandung didalam susu kambing banyak sekali manfaatnya sehingga dapat menyembuhkan batuk-batuk pada anak serta meningkatkan system imun terhadap anak sehingga anak lebih tahan terhadap penyakit yang ada dilingkungan kita dan mungkin bisa meringankan beberapa penyakit yang lainnya.
Nah.. begitu banyak manfaatnya mengkonsumsi susu kambing, mudah-mudahan informasi ini bisa membantu anda semua minimal kita ambil manfaat yang besar untuk keluarga kita semua, Amin

True Story:”Susu Kambing Mengakhiri Kisah Penderita Hepatitis”

Kehadiran sang jabang bayi di rahim Elis tidak disambut suka-cita. Hatinya justru resah. Ia khawatir dirinya mewariskan virus hepatitis B yang telah 10 tahun bersarang ditubuh. Hasrat menggugurkan janin sempat terlintas di benak ibu 35 tahun itu.
Elis resah membayangkan penderitaan yang akan di lalui anaknya jika kelak terlahir ke dunia. Maklum, ia tahu betul betapa perihnya nestapa akibat ganyangan virus hepatitis yang ia  alami sejak 1998. Nestapa itu bermula tatkala Elis mengeluh sakit tak terperi di ulu hati. Ia yang saat itu berusia 25 tahun menduga dirinya sakit maag. Makan saya memang tidak teratur, katanya. Kesibukan membantu suami mengelola toko bahan bangunan membuatnya berpaling dari pola hidup sehat.
Perih di ulu hati kian menjadi-jadi. Rahmat Afandi, suami Elis, segera memboyong istri ke dokter spesialis pemyakit dalam di daerah Tomang, Jakarta Barat. Hasil diagnosis dokter, Elis menderita mag kronis. Dokter pun memberikan obat untuk mengurangi asam lambung berlebih-penyebab mag. Setelah mengkonsumsi obat, kondisi Elis kembali pulih.
Kemoterapi
Beberapa waktu kemudian rasa sakit kembali menyambangi ulu hati Elis. Kali ini kondisinya bertambah buruk. Perut kian membuncit. Seperti hamil 7 bulan, ujarnya. Sekujur tubuh pucat dan lunglai. Bila telapak tangan ditekan dengan  jari, tak kembali memerah. Keduanya dingin.
Khawatir kondisinya kian memburuk, Rahmat pun segera bertolak ke RS Pelni, Jakarta Pusat. Disana Elis dirawat di instalasi gawat darurat. Setelah darah diperiksa dan perutnya dipindai dengan ultrasonografi (USG), teka-teki penyebab sakit Elis akhirnya terjawab. Ia terjangkit virus hepatitis B. Kadar HVDNA positif pada darah mencapai 1.527 pg/ml. Itu menunjukkan kadar virus hepatitis yang bersarang di aliran darah. Hasil USG menunjukkan, separuh hatinya telah mengeras alias sirosis.
Elis tak menyangka dirinya berada diambang maut. Bayangan ajal sempat melintas di pikirannya yang sedang galau. Namun, Elis tak mau pasrah begitu saja menghadapi vonis dokter. Ia pun menanyakan peluang kesembuhan bakal diraih. Kami hanya bisa berusaha. Perkara kesembuhan itu ada di tangan Tuhan, kata Elis menirukan usapan dokter ketika itu.
Dokter menyarankan agar Elis menjalani terapi 3TC, salah satu terapi untuk menghalau virus hepatitis yang  mengganas di tubuhnya. Ia mesti rutin mengkonsumsi obat berupa kapsul sekali sehari dan tidak boleh terlewat. Ia juga mesti rutin diperriksa setiap bulan untuk memantau perkembangan virus.
Purnama demi purnam ia lalui. Tak terasa 2 tahun ia sudah menjalani terapi. Namun, alamat kesembuhan tak jua tampak. Jumlah virus dalam darah berfluktuasi. Suatu kali jumlah virus anjlok hingga 32 pg/ml. Tak lama kemudian jumlahnya kembali melonjak. Melihat hasil yang tidak stabil, dokter menyimpulkan terapi itu gagal. Padahal, pada sebagian besar pasien hepatitis B, terapi 3TC tergolong tokcer. Keberhasilan terapi tergantung kecocokan dengan tubuh si pasien. Kegagalan itu mungkin disebabkan tubuh menolak reaksi obat, kata Elis mengulang ucapan dokter.
Interferon
Pada 2001, Elis kembali disarankan menjalani terapi. Kali ini jenis obat yang digunakan adalah interferon. Obat itu disuntikan melalui pembuluh darah. Dalam sepekan, Elis mesti menjalani 3 kali terapi di RS Pelni. Menurut Prof Dr dr Nurul Akbar SpPD KGEH, ahli hepatologi di Jakarta, interferon dikenal kalangan medis berfaedah memperbaiki hati. Namun, tingkat keberhasilan interferon hanya 10-15%,: kata Nurul. Meski di lapangan interferon sanggup mengurangi penderitaan akibat hepatitis sebanyak 40%, tapi kemampuannya memusnahkan virus masih kecil.
Itulah yang dirasakan Elis. Setahun terapi, lagi-lagi tak menampakan hasil. Virus hepatitis tak juga beranjak dari tubuhnya. Bahkan efek samping dari terapi mulai tampak.Rambut saya rontok dan tubuh lemas terus,: kata Elis. Ia pun memutuskan berhenti terapi.
Pada 2003, Elis kembali menjalani terapi. Ketika itu pemerintah mendatangkan obat baru yang konon ampuh mengentaskan virus hepatitis di negara asalnya. Namun, baru beberapa bulan mengkonsumsi obat, efek samping mulai terasa. Sumsung tulang belakang saya seperti tersedot, sakit sekali. Lidah saya tak terasa, nasfu makan hilang, tubuh saya juga lemas, katanya.
Meski harus bergelut rasa sakit, Elis bertekad meneruskan terapi. Seraya menjalani terapi, Elis tak tinggal diam. Ia getol berburu informasi tentang obat hepatitis di berbagai media. Begitu juga Rahmat. Ia menyambangi pasar Glodok yang marak penjaja obat tradisional cina. Saya beli obat cina yang berharga jutaan rupiah,kata Rahmat.
Susu kambing
Lagi-lagi jerih payahnya itu kandas. Alih-alih membawa kesembuhan, malah ngilu di sekujur tubuh yang didapat. Suatu ketika, masih 2003, sebuah media swasta mempublikasi acaraƂ  yang mengupas faedah susu kambing bagi kesehatan. Karena penasaran, Elis menghubungi redaksi media itu dan meminta nomor telepon peternak yang menjual susu kambing ettawa. Ia bersama suami kemudian mengunjungi peternak itu di Bogor.
Tiba di rumah, Elis mengkonsumsi susu kambing hingga 2 liter perhari. Ia juga tetap mengkonsumsi obat terapi. Beberapa bulan mengkonsumsi susu kambing, alamat kesembuhan mulai terasa. Rasa sakit dan lemas yang biasanya dirasakan selama terapi kini berangsur hilang. Badan saya lebih bugar,: katanya. Pada 2004, sang suami mengajak Elis bertolak ke luar negeri. Ketika tiba di tanah air , tubuh saya tetap bugar, imbuh ibu 2 anak itu. Ia akhirnya menghentika terapi dan hanya mengkonsumsi vitamin.
Bukti kesembuhan itu juga datang ketika jabang bayi hadir di rahim Elis. Rasa terkejut, bahagia, dan resah bercampur-aduk dalam batin Elis. Saya terkejut. Orang yang sedang kemoterapi biasanya mustahil bisa hamil karena efek samping terapi yang menyebabkan rahim menjadi kering,katanya. Ia juga bahagia karena telah 10 tahun tidak menimang-nimang sang bayi.
Di balik kebahagiaannya itu, Elis juga menyimpan resah yang mendalam. Ia khawatir virus hepatitis B juga bersarang di tubuh sang bayi. Keresahan itu terus membayangi hari-harinya menjalani kehamilan. Selama hamil, Elis tetap rutin mengkonsumsi susu kambing.
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Pada November 2005, anak keduanya itu lahir. Yang paling menggembirakan, hasil pemeriksaan darah menunjukkan, tak satu pun virus hepatitis bersarang di tubuh anaknya. Kebahagiaan Elis pun kian membuncah ketika dokter mengatakan kondisi hati Elis kian membaik. Hati yang tadinya mengeras akibat sirosis, perlahan di tumbuhi sel-sel baru. Ia pun hanya disarankan memeriksakan diri 3 bulan sekali.
Asam lemak
Bagaimana peran susu kambing membantu penyembuhan hepatitis? Menurut Dr H.P Maree, MBChB, dari Schweizer Reneke, Transvaal Barat, Afrika Selatan, susu kambing kaya asam lemak rantai sedang berkhasiat. Total jumlah asam lemak jenuh rantai sedang pada susu kambing hampir setara air susu manusia.
Kandungan asam laurat-yang juga terdapat pada virgin coconut oil (VCO)-susu kambing mencapai 4,5% pada air susu manusia 5,8%. Susu kambing juga mengandung asam kaprat paling tinggi ketimbang air susu manusia dan sapi yaitu 2,2%. Sedangkan air susu manusia hanya 0,3% dan sapi 1,2%. Asam laurat dan kaprat dikenal sebagai antivirus.
Susu puan-sebutan lain susu kambing-juga mengandung niasin yang mencapai 0,676 mg, lebih tinggi daripada susu sapi, 0,261 mg. Menurut Dr. Elvina Karyadi MSc, ahli gizi masyarakat Universitas Indonesia, suplemen vitamin B3 atau niasin biasanya diberikan pada pasien yang sedang menjalani kemoterapi untuk mengurangi efek toksis kemoterapi. Oleh sebab itulah ketika menjalani terapi, tubuh Elis tetap segar.
Disadur dari majalah Trubus Edisi 448  Maret 2007/XXXVIII
Tak ada kebahagiaan melebihi kebahagiaan seorang ibu yang dikaruniai anak yang sehat. Demikian juga saya, Alhamdulillah, begitu anak saya yang pertama lahir rasanya saya lega karena dia lahir dalam kondisi sehat tak kurang satu apapun. Hingga enam bulan kemudian saya mendapatkan ujian yang sungguh menguras fisik dan psikis saya. Secara tiba tiba anak saya kencing darah. Kaget! Lebih dari itu, saya merasa tiba tiba dunia runtuh.
Memang sebelumnya
saya merasa curiga karena seharian hanya
kencing dua kali. Layaknya bayi,
seharusnya minimal kencing empat kali
dalam sehari. Kecurigaan saya ternyata beralasan. Tanpa menunda-nunda saya langsung
membawa anak saya ke Rumah Sakit
untuk mendapatkan perawatan. Saya
merasa tidak tega, karena seharian penuh
dia menangis mungkin menahan sakit.
Hingga akhirnya dokter menyarankan saya untuk dirawat. Setelah beberapa hari mendapatkan
perawatan akhirnya dokter perpendapat
bahwa anak saya mengalami infeksi
saluran kencing, hal yang biasa dan tidak
perlu dikhawatirkan karena umum terjadi
pada anak anak. Mendengar penjelasan dokter saya merasa sangat lega dan lebih
tenang. Setelah panasnya turun anak
saya sudah boleh pulang. Namun ketenangan saya kembali terusik
karena secara tanpa saya sadari saya
memeriksa kemaluan anak saya setelah dia
kencing, hal yang tidak pernah saya
lakukan sebelumnya… mungkin naluri seorang ibu. Betapa terkejutnya, saya
mendapati batu berukuran sekitar 3 mili di
sana! Tangan saya gemetar, saya tak tahan
menahan tangis. Tak tega melihat anak
saya meronta ronta menahan sakit.
Semakin lemas saya ketika saya dapati
sekitar 2 – 3 batu walaupun dalam ukuran
yang lebih kecil. Saya segera melapor dan, setelah
menjalani pemeriksaan dokter
menyarankan agar anak saya di rontgen
saja. Saya menolak karena saya tahu
resikonya, dan sebaliknya menyarankan
dokter untuk memeriksa dengan bantuan USG bagi anak saya. Dokter malah
menertawakan saya. Apa daya, akhirnya
saya menurut saja. Benar saja, hasil rontgen nihil. Akhirnya
dokter mengikuti saran saya. Entah apa
yang menuntun saya untuk meminta
dokter melakukan USG untuk anak saya.
Sekali lagi, naluri ibu. Saya melihat kekhawatiran yang amat
sangat dari dokter yang melakukan USG
pada anak saya. Dengan nada suara
rendah dan menyesal dia berujar,”Ibu harus kuat, saya harus katakan bahwa
batu di ginjal anak ibu banyak sekali,
rumah sakit ini tidak memiliki alat yang
lebih baik untuk pemeriksaan lebih lanjut… sebaiknya ibu bawa anak ibu ke rumah
sakit di Bandung atau di Jakarta”. Dalam bimbang dan sedih saya harus
menguatkan diri saya. Karena pada saat
itu suami saya sedang pergi untuk ibadah
Haji. Tidak mungkin juga saya menelepon
beliau karena hanya akan membuat beliau
khawatir. Setelah berkonsultasi dengan beberapa kerabat, akhirnya kami
membawanya ke RSIB Harapan Kita. Dua minggu lebih anak saya menjalani
perawatan. Ternyata ini adalah kasus ke
tujuh yang pernah ada di RSAIB Harapan
Kita. Dokter dari berbagai keahlian
berbaur memberikan saran dan sepakat
untuk menunggu hingga usia anak saya cukup memungkinkan untuk dilakukan
operasi sambil menunggu berbagai
kemungkinan dan perkembangan. Tak kuat menahan beban akhirnya saya
memberi kabar pada suami untuk
meminta doa. Alhamdulillah, secara
alamiah 11 batu keluar begitu saja. Yang
tertinggal hanya dua buah bongkah
dengan ukuran yang lebih besar 4 mili dan 6 mili ‘plus’ beberapa batu berukuran kecil yang tampak masih sporadis di mana
mana. Hingga akhirnya dokterpun
menyarankan anak kami untuk dirawat di
rumah saja dan menjalani pemeriksaan
USG rutin setiap enam bulan. Saya masih penasaran, apa pasal di balik
kondisi anak saya? Karena selain masalah
batu dia juga sulit buang air besar dan
selalu merasa gatal di sekujur tubuhnya.
Akhirnya saya membawa anak saya
menemui seorang dokter ahli pencernaan di kawasan Bekasi. Dokter mengatakan
bahwa anak saya alergi susu sapi dan susu
kedelai. Beliau menyarankan agar anak
saya diberi susu kambing saja, tapi nanti
setelah usianya genap satu tahun. Saya ikuti saran dokter. Dalam
pemeriksaan USG yang pertama saya dan
dokter ahli ginjal di RSIB Harapan Kita
terkejut luar biasa. Ginjal anak saya lebih
bersih. Dua batu besar yang masih
bersarang juga semakin menipis. Saya katakan bahwa anak saya kini susu
kambing menjadi minuman rutin anak
saya. Saya senang bukan kepalang,
berucap syukur luar biasa! Perkembangan yang menggembirakan
terus saya dapatkan di pemeriksaan rutin
USG anak saya. Hingga pemeriksaan
terakhir sebelum saya berangkat ke Paris
untuk menemani suami studi di sana, anak
saya dinyatakan bersih! Alhamdulillah. Dokter yang rutin melakukan pemeriksaan
USG pada anak saya begitu heran. Karena
dia sangat tahu persis perkembangan
batu-batu di ginjal anak saya. “Anak ibu diberi obat apa?”, begitu dia bertanya dengan heranya. “Saya tidak beri obat apa apa karena dia masih bayi, saya hanya
mengikuti saran dokter ahli pencernaanya
untuk memberikan susu kambing karena
anak saya alergi susu sapi dan susu
kedelai”, begitu saya menjelaskan. Hingga saat ini saya masih bertanya tanya,
mengapa batu dapat bersarang begitu
banyak di ginjal anak saya? Dokter pun
tak ada yang tahu persis jawabannya.
Pada umumnya mereka menjawab karena
faktor genetika atau bawaan dari sejak bayi. Apapun penyebabnya, satu
pelajaran yang dapat saya bagi pada
pembaca : cobalah susu kambing jika ada
sanak saudara, kerabat hadai taulan,
sahabat atau orang terdekat, bahkan diri
Anda sendiri yang mengalami hal yang sama dengan anak saya. Karena saya
telah membuktikannya. Semoga
bermanfaat.
sumber: http://imarahmani.wordpress.com
Serta merta tangan Rossana-yang bersangkutan enggan disebut namanya-asyik menggaruk kaki yang gatal. Bekas garukan itu berubah menjadi luka. Semula kecil tetapi kemudian  luka itu melebar dan sulit kering. Kejadian itu berulang-ulang, setiap gatal tangannya refleks menggaruk dan esoknya menjadi luka.
Itulah sebabnya ia kadang menahan tangan untuk tak menggaruk bagian tubuh yang gatal. Gangguan kesehatan lain juga muncul ketika usianya 47 tahun. Frekuensi berkemih lebih tinggi. Ketika malam, ia sampai 7 kali buang air kecil. Padahal, sebelumnya tak pernah. Bolak-balik ke peturasan ketika malam jelas mengganggu tidur Rossana. Pada siang hari juga demikian. Celakanya, pandangan matanya kabur. “aktivitas sehari-hari sering terganggu” kata Rossana.
Khawatir keadaan tambah memburuk, Rossana melakukan general Chek Up di sebuah rumah sakit di Purwokerto, Jawa Tengah. Hasilnya kadar gula darah mencapai 370 mg/dl. Ia positif menderita diabetes mellitus (dari bahasa Yunani : diabetes = urine berlebih, mellitus = madu).
Padahal dalam kondisi normal, kadar gula berkisar 100-140 mg/dl. Sejak itu pula ia harus menjalani diet ketat. Konsumsi nasi dibatasi, tidak boleh lebih dari ¾ piring. Ia melupakan hobinya menyantap berbagai penganan berbahan baku kacang-kacangan. Tak lupa, penyuka menyulam itu harus berhenti mengkonsumsi gula.
Menurut dr. Eduard Hutabarat, dokter di Cibubur Jakarta  Timur, kekurangan hormon insulin dan konsumsi gula berlebih memicu diabetes mellitus, Rossana mempunyai kebiasaan yang mengundang diabetes mellitus. Saban pagi ia menyeruput segelas teh manis. Segelas teh manis lain ia minum saat petang. Setiap kali menikmati teh panas, kue-kue manis menjadi kudapan.
HERBAL
Pemicu lain berupa kekurangan mineral-mineral tertentu yang diperlukan untuk metabolism pankreas. Akibatnya pankreas gagal memproduksi hormone insulin.Hormon itu berperan mengatur kadar gula darah. Jika kadar gula darah melebihi normal, menyebabkan ginjal ikut mengeluarkan gula bersamaan dengan urine.  Sayangnya perempuan 50 tahun itu juga tidak pernah berolah raga. Tanpa disadari menimbun gula dalam darah.
Gula bersifat menarik cairan sehingga volume urine berlebih. Dampaknya penderita kerap bolak-balik ke kamar kecil seperti dialami oleh Rossana. Cairan banyak yang hilang menyebabkan gampang sekali haus, selain itu glukosa yang terbuang bersama air kemih menyebabkan tubuh kehilangan energy. Tubuh akhirnya gampang lelah dan mudah lapar. Tak jarang hilangnya energy juga membuat penderita diabetes mudah mengantuk. Kondisi itu jelas mengganggu aktivitas Rossana yang terbilang aktif.
Belum lagi gangren alias luka yang tak kunjung sembuh di kakinya. Tubuh gagal metabolism gula menjadi adenosine tripospat (ATP) sehingga sel mati dan luka tak kunjung sembuh. Oleh karena itu ia ingin segera mengakhiri gangguan kesehatan itu. Ia menuruti saran teman-temannya untuk mengkonsumsi ramuan herbal. Ketika belanja ke pasar, Ibu 3 anak itu membeli beberapa bungkus herbal. Sayangnya Rossana tak mengetahui jenis herbal itu.
Ia menyeduh 4 sendok serbuk jamu dalam 1 gelas air panas. Dalam sehari ia mengkonsumsi 1 kali. Sebulan setelah rutin mengkonsumsi ramuan itu, tanda-tanda kesembuhan mulai tampak, kadar gula darahnya turun menjadi 230 mg/dl. Namun hingga 6 bulan kemudian, kadar  gula darah tak bergeming dari angka 230 mg/dl.
HILANG GATAL
Setelah mencoba herbal lain, Rossana akhirnya tertarik mengkonsumsi susu kambing. Produk itu diperoleh dari kambing peranakan ettawa (PE). Informasi khasiat susu kambing ia peroleh dari sebuah media. “kebetulan di dekat tempat tinggal saya ada peternakan kambing perah” katanya. Rossana pun memesan 10 kantong susu puan –nama lain susu kambing- masing-masing berisi 200 ml. Susu Kambing murni  itu ia konsumsi 2 kali sehari masing-masing 1 kantong sebelum sarapan dan makan malam.
Baru 3 hari mengkonsumsi, ia merakan perbedaan “rasa gatal mulai berkurang dan tidur terasa enak” ujar Rossana. Konsumsi susu kambing pun ia lanjutkan. Setelah 2 bulan, ia kembali mengecer kadar gula darah. Hasilnya menggembirakan “Nilai gula darah turun ke angka 145 mg/dl.” Katanya. Pengecekatan terakhir pada Maret 2007, kadar gula darahnya normal. Pandangan mata yang kabur sedikit demi sedikit menghilang. Badan pun dirasa lebih segar dan bertenaga.
Menurut Zen Djaja MD, dokter di Malang, Jawa Timur, susu kambing ampuh mngatasi diabetes lantaran produk itu kaya nutrisi. Kekurangan Nutrisi juga memicu diabetes mellitus karena produksi insulin oleh pankreas terhambat. Susu kambing kaya protein dan asam amino menambah nutrisi tubuh menjadi lebih baik, pankreas bekerja optimal untuk memproduksi insulin.
Elliot K Greenwood periset Massachussets State Collage and Agricultural Experiment station, Amherst Amerika Serikat, menemukan protein A2 beta-casein dalam susu kambing. Protein itu berbeda dengan kerabatnya dalam susu sapi, A1 beta-casein yang dituduh memicu diabetes. Sedangkan A2 beta-casein aman  bagi penderita kencing manis.
Disadur dari Majalah Trubus 480 edisi maret 2008
 Sunday, February 8th, 2009 
Ida Rahmawati panik bukan kepalang ketika wajah buah hatinya Sekar Ayu Dyah Larasati membiru. Mata bocah 5 tahun itu terpejam. Napasnya tersengal-sengal seperti tercekik. Berkali-kali Ida menepuk-nepuk pipi anaknya, tetapi Dyah tak merespon. Ia bergegas membawa Dyah ke Rumah Sakit Usada Insani, Tangerang, Provinsi Banten. Diagnosis dokter, siswa Taman Kanak-kanak itu mengidap asma.
Bayangan 5 tahun silam melintas di benak Ida Rahmawati. Ia ingat persis, ‘pada umur 6 bulan, Dyah kerap batuk-batuk dari jam 02.00 sampai 04.00,’ ujar Ida. Dokter hanya meresepkan sirop obat batuk dan antibiotik. Beberapa bulan berselang, timbul gatal-gatal pada kulit. Ia pun kembali memeriksakan Dyah ke dokter. Hasilnya, Dyah divonis alergi susu sapi. Oleh karena itu Ida mengganti susu bubuk sapi dengan susu bubuk kedelai. Penggantian itu memang menghilangkan gatal-gatal pada kulit Dyah. Namun batuk pada malam hari tak kunjung reda.
Bahkan setahun kemudian, batuknya semakin parah. Napas tersengal-sengal seperti tercekik. Ida Rahmawati menyambangi dokter lain untuk mengetahui penyebab batuk berkepanjangan itu. Saat itulah ia tahu, Dyah mengidap asma karena alergi susu sapi. Sejak diagnosis asma itulah, Dyah yang saat itu berusia 2,5 tahun mengkonsumsi puyer antialergi 6 kali sehari. Kebiasaan itu berlangsung hingga Dyah berusia 7 tahun. Untuk memberikan pertolongan segera, Ida menyiapkan alat bantu pernapasan nebulizer dan tabung oksigen ukuran 80 cm.
StresObat dan piranti itu tak juga membantu kesembuhan Dyah. Buktinya ia sering opname karena serangan asma. ‘Obat dan nebulizer sudah tidak mampu menolongnya,’ ujar sang bunda. Hampir setiap 6 bulan Dyah dirawat di rumahsakit selama 2-3 hari. Asma Dyah kambuh terutama saat udara panas. Di sekolah yang dilengkapi pendingin ruangan, asma Dyah tak pernah kambuh. Namun, begitu pulang karena udara panas napasnya terengah-engah.
Menurut dr Mohamad Soleh, asma bisa kambuh salah satunya bila dipicu stres. Stres bisa secara fisik maupun psikis. Stres fisik bisa karena panas, dingin, lelah atau karena penyakit lain. Asma Dyah kambuh saat udara panas bukan udara dingin seperti asma pada umumnya. Menurut dr Imelda Magaritha asma adalah gangguan pernapasan karena alergi. Gangguan itu berupa penyempitan saluran pernapasan yang menghambat udara keluar dari paru-paru. Asma dapat kambuh jika sistem kekebalan terpicu oleh penyebab alergi. Penyebab alergi berbeda setiap individu, misalnya alergi susu sapi, udara dingin, debu atau stres.
Ketika upaya penyembuhan secara medis tak menggembirakan, Ida mencoba pengobatan tradisional. Atas saran kerabatnya, ia memberikan berbagai obat tradisional seperti hati kelelawar, hati kura-kura, dan hati unta pada waktu yang berbeda. Dosisnya 50 gram 3 kali sehari. Sayang, kesembuhan itu belum juga muncul.
ToleransiPada Oktober 2005, seorang rekan menyarankan untuk mencoba susu kambing. Barharap kesembuhan pada anaknya, Ida pun menuruti saran itu. Ia memesan 10 liter dengan harga 15.000 per liter. Susu kambing dikemas 200 ml, Ida mesti memanaskannya sebelum memberikan susu itu kepada Dyah. Sekali minum Dyah menghabiskan 200 ml dengan frekuensi 3 kali sehari. Efek terlihat pada 3 bulan pertama. Batuk pada malam hari mereda dan napas tersengal tidak terdengar lagi.
Setelah 3 bulan mengkonsumsi susu kambing, asupan puyer antialergi dihentikan. Pada 3 bulan kedua susu kambing diberikan hanya 2 kali sehari. Untuk selanjutnya sampai sekarang Dyah tetap meminum susu kambing, tapi cukup sekali sehari. Setelah rutin mengkonsumsi susu kambing, setahun terakhir asma Dyah tidak pernah kambuh. Tidak ada lagi acara bolak-balik ke rumahsakit. Nebulizer yang setia memberi oksigen pun teronggok di sudut kamar.
Yang terpenting, gadis cilik berusia 9 tahun itu sudah bisa tertawa lepas saat bermain dengan teman-temannya. Tidak akan terdengar lagi larangan ibunya untuk menahan tawa dan gerakan kala asyik bermain. Bagaimana duduk perkara susu kambing mengobati asma? dr Imelda Margaritha menuturkan susu kambing meningkatkan daya tahan tubuh. Itu lantaran kandungan mineral berupa magnesium, klorida dan selenium yang bagus untuk metabolisme tubuh.
Susu kambing biasanya dikaitkan dengan asma karena alergi susu sapi. Jika seseorang alergi susu sapi, sebenarnya dia alergi dengan gula atau protein dalam susu sapi atau dikenal dengan sebutan ? A1 kasein; susu kambing, betakasein. Susu kambing hanya mengandung 4-4,1% gula laktosa sehingga masih ditolerir untuk orang yang alergi laktosa. Bandingkan dengan kadar laktosa susu sapi yang berkisar 4-7%
Jadi, penderita asma sembuh atau reda setelah minum susu kambing, berarti dia alergi dengan komponen yang ada pada susu sapi atau produk dari susu sapi. Jika tidak reda, maka pemicu asma bukan karena alergi dengan komponen tadi.
Susu kambing bisa dikonsumsi dalam bentuk cair, bubuk bahkan tablet. Dalam hal kestabilan zat aktif (protein, mineral, vitamin), susu kambing tablet lebih stabil daripada bubuk dan cair. Apa pun pilihannya, susu kambing terbukti mujarab mengatasi asma seperti yang dialami Sekar Ayu Dyah Larasati. (Nesia Artdiyasa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar